Ely Susanti

Life Coach | Trainer | Events | Author

Mungkin cerita ini sudah pernah anda baca sebelumnya. Namun kali ini saya ingin menceritakan kembali.

Di sebuah desa yang terpencil, semua penduduk hidup dengan damai dan tenang. Walau rata-rata mereka bukan orang kaya, namun mereka hidup dengan bahagia.

Di antara rumah-rumah penduduk yang sederhana, ada sebuah rumah yang cukup mewah, itulah rumah saudagar terkaya di desa itu. Rumahnya paling besar di antara semua tetangganya. Terbuat dari tembok yang cukup megah dan tinggi dibandingkan tetangganya yang rata-rata dari tembok seadanya gabungan dengan kayu dan anyaman bambu.

Suatu sore hujan turun sangat deras dan listrik juga padam, sehingga satu desa diliputi kegelapan menjelang malam.

Sang Saudagar baru pulang dari kota dan saat memasuki rumahnya tidak lama kemudian dia mendengar pintu diketuk. Dengan rasa capek dia membuka pintu, terlihat 2 anak kecil tetangganya basah kuyup.

“Ada apa nak?” tanya saudagar.
“Pak, desa mati lampu dari sore tadi, apa bapak punya lilin?” Tanya anak yang lebih besar.

“Ah.. ini anak-anak miskin pasti mau minta lilin” begitu pikir saudagar.

“Saya tidak punya lilin” begitu jawabnya asal, berharap anak anak di depannya segera pergi

“Tuh kan… Kak, benar dugaan saya, dia tidak punya lilin” anak yang lebih kecil berbisik pada kakaknya, namun terdengar oleh sang saudagar.

Si Kakak, menjulurkan tas plastik yang dibawanya dan berkata, “Ini buat bapak, adik saya memaksa saya untuk datang ke sini, katanya bapak hidup sendirian pasti tidak menyimpan lilin di dapur nya. Jadi kami berbagi lilin yang kami punya agar bapak bisa mendapat cahaya selama listrik padam.”

“Bapak punya korek kan?” kata si kecil dengan senyumnya yang tulus. “Kalau tidak punya, saya juga sudah bawakan” katanya sambil merogoh kantong celananya yang lusuh.

Sang Saudagar hanya bisa terdiam, sambil menyembunyikan rasa malunya. Karena sudah berburuk sangka dan sudah berbohong tentang lilin karena tidak ingin berbagi.

Cerita di atas saya ingat kembali saat saya juga mengalami sebuah percakapan yang didasari dengan persepsi dan dugaan masing-masing.

Saat saya mengikuti retret untuk kedua kalinya, dimana yang sebelumnya berlangsung selama 10 hari. Saya mendatangi seorang panitia yang sekaligus teman saya untuk minta ijin bahwa di hari ke-4 saya akan pulang ke Jakarta sehari saja, dan balik lagi pada hari ke-5 untuk kembali melanjutkan retret.

Teman saya menanggapi dengan bertanya, “Lho, ngapain?”
Saya menjelaskan panjang lebar, bahwa ada jadwal yang terselip dari agenda saya, dan jadwal itu adalah training yang harus saya bawakan dan tidak bisa diwakilkan. Penjelasan saya sebenarnya karena saya merasa tidak enak dan ada sedikit rasa bersalah harus meninggalkan retret di tengah-tengah.

“Maksud saya, ngapain kamu balik? Kan hari ke-5 sudah selesai. Sudah bubar!”

Ah, ternyata saya masih berpikir bahwa retret kali ini sama dengan yang sebelumnya selama 10 hari, saya belum tahu kalau yang kali ini telah berubah menjadi 5 hari. Oleh sebab itu pertanyaan teman saya tadi, saya tanggapi bahwa dia ingin tahu kenapa saya harus pergi di tengah retret, bukan kenapa saya mau kembali di hari terakhir.

Kita sering kali berkomunikasi dan berhadapan dengan orang lain dengan membawa pemikiran dan pemahaman kita sendiri.
Padahal belum tentu yang dimaksud oleh lawan bicara kita, seperti yang kita pikirkan.

 

Ely Susanti

by. Ely Susanti

Life Coach